Rabu, 23 Juni 2010

Banjar Dalam Sejarah Kenangan

SEMULA Kota Banjar di tahun 1920-1940, hanya merupakan wilayah yang terdiri dari beberapa unit lingkungan permukiman pada 2-3 unit wilayah desa, lalu berkembang dan tumbuh membentuk aglomerasi/pemusatan kegiatan disatu kawasan. Pemusatan dan terkonsentrasi kegiatan ini lalu disebutlah sebagai pusat2 Lingkungan Desa yang menyatu jadi kesatuan dan lahirlah Pusat Kecamatan Banjar yang berada di Desa ‘Pataruman’. Konsentrasi pusat tersebut pada masa itu berada pada seputar kegiatan sosial ekonomi, yaitu dicerminkan adanya kantor pemerintahan kecamatan, pasar tradisional, dan fasilitas-fasilitas sosial lainnya yang ada di seputar pusat pemerintahan tersebut.


Pataruman yang memiliki arti penting bagi “cikal bakal” suatu pertumbuhan ruang perkotaan. Dan desa Pataruman itu sendiri selain sebagai pusat desa, juga sebagai lingkungan yang memiliki aksesibilitas penjangkauan yang relatif mudah untuk berbagai kegiatan sosial ekonomi, yaitu yang tonggak pertumbuhannya dicirikan dengan kedekatan pada simpul utama Parungsari dan Alun-alun, hingga Simpul Piadeuc stasiun KA.

Alun-alun dan Simpul Jalan di Parungsari, selanjutnya bisa dikatakan embrio-nya wujud ruang kota Banjar masa lalu hingga masa sekarang, sehingga dari hal ini penting sakali untuk mewujudkan struktur ruang kota, dan tentunya dengan memperhatikan simpul jalan lainnya serta kawasan-kawasan lainnya yang memiliki tendensinya jadi pemusatan kegiatan atau aglomerasi kegiatan penduduk dari masa lalu hingga sekarang.

Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi, dan perkembangan sosial ekonomi lainnya, maka tahun 1941-an, Kecamatan Banjar ditetapkan sebagai Ibukota Kewadanaan (IKKw). Sebagai IKKw (yang Jadi Wedana waktu itu yang saya tahun dari cerita ‘Ortu’ adalah Bapak Husen, yang tinggalnya di Jl. Cimaragas Banjar) dan sekaligus fungsi maupun peran penting sebagai kota kecil serta sebagai pusat Wilayah Pengembangan III (WP III) kabupaten Ciamis bagian selatan.

Alasan dasar dari penetapan fungsi tersebut untuk Banjar, salah satunya adalah bahwa Banjar merupakan kota transit, kota strategis yang letaknya pada daerah perbatasan Jabar dan Jateng.
Seperti semula perwujudan kota Bjr ini, dari rona status kecamatan hingga jadi IKKw, perkembangannnya selalu dari apa yang disebut dgn kawasan aglomerasi kegiatan penduduk dan simpul2 jalan yang ada (Parungsari, Alun-alun, Simpul Pasar, dan Simpul Piadeuc hingga kepada simpul di Langensari).

Ruang Banjar sebagai IKKw tersebut, tumbuh dan berkembang oleh permukiman di belakang kawasan aglomerasi (pemusatan) dan simpul jalan serta alun-alun. Pertumbuhan dan perkembangan di kawasan ini cukup pesat seiiring dengan laju pertambahan penduduk yang terjadi pada kisaran tahun 1980-1990, sehingga menyerupai “Kota Kecil” yang tonggak awalnya dari Aglomerasi/pemusatan kegiatan penduduknya di seputar alun-alun, pasar tradisional Bjr, dan Piadeuc stasiun KA.

Sikecil mungil kota Banjar ini sebagai kota yang mampu menjembatani kegiatan sosial ekonomi perbatasan antara Jabar dan Jatang dengan dukungan infrastruktur sarana transportasi yang ada, seperti terminal, dan stasiun KA. Sehingga dengan infrastruktur sarana yang ada tersebut, lebel merk kota transit-nya di realisasikan pada moda angkutan Banjar-Jakarta, Banjar-Bandung ke arah Barat dan Banjar-Siderja, hingga ke beberapa kota di Jateng sebagai moda angkutan ke arah Timur, serta moda angkutan Banjar-Pangandaran ke arah Selatan sebagai basis pergerakan yang mendukung pembangunan sektor industri pariwisata di Pangandaran, khususnya dan Ciamis Selatan pada umumnya.

Ditetapkannya kota Banjar sbg kota transit, sebagai hal yang logis, mengingat waktu itu kondisi sarana transportasi, khususnya kondisi jalur jalan darat di jalur jalan Ciamis bagian Selatan dan Jateng bagian Barat masih kurang baik serta kurang menguntungkan bagi pergerakan barang, penumpang dan jasa. Sehingga rute transportasi dari Jakarta ke Jabar bagian timur, dan dari wilayah Jateng ke Jabar hingga ke Jakarta, selalu melintasi kota Banjar bahkan sebagian besar seluruh moda angkutan yang terjadi waktu itu selalu berhenti di kota Banjar (tundaan pergerakan). Pada posisi demikian Kota Banjar didapati keuntungan, dan memberikan pengaruh besar bagi pertumbuhan ekonomi, terutama bagi sektor jasa dan transportasi serta untuk sektor perdagangan.

Di sektor perdagangan dan jasa, dalam masa status kota Banjar sebagai IKKw tahun 1945-1991 menunjukan intensitas kegiatan yang tumbuh dan berkembang dengan cukup pesat, karena IKKw Banjar ini jadi orientasi perdagangan dan jasa bagi masyarakat yang berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Ciamis Selatan (terutama dari Kecamatan Cisaga, Rajadesa, Rancah, Cimaragas, Lakbok, Banjarsari, dan Kecamatan Pamarican), dan dari sebagian wilayah Kabupaten Cilacap (seperti Wangon, Majenang, Siderja, dll) yang merupakan daerah-daerah perbatasan khususnya antara Banjar dan Cilacap.

Dengan demikian IKKw Banjar ini yang tumbuh dan berkembang pada kondisi demikian, yang akhirnya menjadikan simungil kota Banjar ini ke arah perluasan wilayah permukiman yang semakin melebar dan sampai kepada tahun 1992, Kota Banjar bukan lagi sebagai “Ibukota Kewadanaan (IKKw)” namun jadi Kota Administratif (Kotif).

Tahun 1992, kota Banjar bukan lagi sebagai simungil kota kecil, namun kota yang sdh memiliki status maupun posisi kota “sedang” dengan jumlah penghuninya sudah mencapai kisaran 110.000 – 150.000 jiwa penduduk, maka dari perkembangan yg terjadi ini Kota Banjar dalam aspek eksternal-nya merupakan kota dari kawasan andalan di Priangan Timur, karena telah menunjukan kemampuannya sebagai kota yang berperan sebagai pendorong serta pemicu untuk pertumbuhan ekonomi Priangan Timur dan kawasan di sekitarnya. Dan sekaligus dalam kondisi maupun posisi fungsi demikian, Kota Banjar dinyatakan sebagai kota Pusat Kegiatan Lokal (PKL) dalam struktur ruang dan sistem perkotaan lingkup Nasional (RTRW Nasional) yang memiliki prioritas pengembangan kota di sektor perdagangan dan industri kecil/rumah tangga.

Dinamika perkembangan kota hingga jadi status Kotif Banjar, baik dalam kontekstual regional maupun nasional, dalam kurun waktu pasca penetapan status tsb tahun 1993-an sepertinya Kotif Banjar mengalami titik jenuh, nyaris mati suri.. pasalnya “lost moda” angkutan dan adanya interaksi Jakarta-Pangandaran, Bandung-Pangandaran, Jakarta-Banjarsari, dan Bandung-Wangon hingga Bandung/Jakarta-Majenang pun sudah tumbuh dan berkembang, sehingga posisi Banjar hanya sebagai kota lintasan dari route angkutan umum tersebut.

Barometar dari aspek intensitas transportasi regional jadi menemui titik rendah dan fokus orientasi kegiatan sektor perdagangan dan jasa, terjadi fluktuatif mengingat akses “lost moda transportasi” tersebut mendorong daerah-daerah yang semula terorientasi ke Banjar jadi beralih ke Ciamis, Banjarsari, dan Pangandaran, untuk wilayah Ciamis Selatan, dan Majenang serta Siderja untuk dari wilayah Jateng bagian Barat, sehingga dalam setiap pergerakannya tidak mengalami transit lagi di Terminal Banjar, atau kalau kereta api tidak transit di Stasiun. Berhenti lama dan sebentarnya tergantung kepada besaran banyaknya “order” penumpang (permintaan jumlah penumpang) kalau tidak ada penumpang atau angkutan, maka angkutan umum/ moda transportasi itu lewat begitu saja. Inilah yang namanya Kotif jadi kota pelintasan transportasi saja.

Pengaruh besarnya terhadap perkembangan tersebut, maka Kotif Banjar hanya tumbuh dan berkembang yang lambat dan sifatnya hanya internal saja, sementara aspek eksternal kota nyaris mati suri. Sebagai siasat dari kondisi tersebut, maka dicoba untuk mengevaluasi ruang, diantaranya setiap kawasan-kawasan kegiatan yang tumbuh ditata ulang serta diregulasi melalui penyatuan maupun memadukan yang lebih efektif melalu penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Banjar (masih dalam payung hukum dan ketentuan Perda tentang RTRW Kabupaten Ciamis).
Dari beberapa kebijakan yg telah tertuang dalam RDTR Kecamatan Banjar tersebut, diantaranya telah didesain ruang yang terkait dgn penjelasan realisasi posisi fungsi “transit” dan “perdagangan”, yaitu penataan terminal type A yang semula di Kawasan Piadeuc pindah ke Kawasan Lapangan Bakti dan Cikulak, dan kawasan ini sudah mulai dibuka di tata sedemikian rupa sehingga membentuk kawasan pengembangan pusat kegiatan ekonomi selain fungsi sebagai terminal type A, dan cukup pesat berkembang oleh pengisian ruang oleh kegiatan ikutannya atau kegiatan-kegiatan “multi effect” dari pembangunan terminal tersebut hingga sekarang.

Seiring dengan suasana perdebatan masalah RUU tentang Otonomi Daerah tahun 1999, semasa era kepresidenan BJ Habibi ke Alm Gus Dur, maka aspirasi gejolak masyarakat Bjr cukup Marak untuk Memisah diri dari Kabupaten Ciamis, karena mungkin kekecewaan atas regulasi salah satu diantaranya masalah “Lost Moda Transportasi” yang mengakibatkan Banjar jadi Kota Lintasan, atau kota yang hanya penonton lalu lalu lintas regional yang melintasi kota kita,..kota Banjar, serta jadi bukan lagi sebagai titik awal dan akhir dari suatu trayek, khususnya bus angkutan umum dan angkutan umum untuk barang dan jasa.

Tahun 2000, UU tentang Otonomi Daerah (OTDA) mulai diberlakukan, dan hal ini desakan masyarakat Bjr semakin gencar untuk keukeuh berpisah dgn Kaupaten Ciamis.
Berbagai pihak. Legislatif, LSM dan pihak lainnya berupaya untuk tujuan “pisah” dgn Kabupaten Ciamis tersebut…Dan sampailah pada waktunya ‘tanggal 21 Februari 2003’, Kotif Banjar syah jadi Daerah Otonom Kota Banjar dengan jumlah penduduk pada kisaran 150.000 – 200.000 jiwa penduduk, sehingga masyarakat maupun warga-nya bisa bebas berinovasi, berkarya dan berbuat sesuatunya untuk kotanya, kota Banjar, yang dapat memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tersendiri yang tetap payung hukum maupun ketentuannya menginduk kepada RTRW Provinsi Jawa Barat dan RTRW Nasional.

Dalam penyusunan RTRW Kota Banjar, sejak disyahkannya sebagai daerah otonomi Kota, maka Banjar telah dibagi beberapa Bagian Wilayah Kota (BWK), pembagiannya sesuai dengan sifat dan karakteristik kawasan yang ada, yaitu diantaranya kawasan-kawasan yang tumbuh dan berkembang oleh aglomerasi kegiatan penduduk yang terjadi, serta menyeseuaikan dengan UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang Kota. Dalam Penyesuaian tersebut, maka Wilayah Kota Banjar dalam Struktur Ruang dan Pola penggunaan lahannya terdiri dari kawasan lahan Lindung dan Kawasan lahan Budi Daya (penjelasan dan uraian ini ditulis di tema lain).
Dan sampai saat sekarang belum sepenuhnya RDTR Kota Banjar terealisasi, maka pada tahun 2012-2013 perlu dilakukan evaluasi kembali. Evaluasi ini untuk menemukenali kendala dan permasalahan penataan ruang yang sdh ditetapkan tsb belum terealisasi semuannya. Ada faktor lain dari kendala tersebut, baik yang sifatnya politis maupun non politis bahkan ada juga yang sifatnya oleh urgensi lain yang terkait dengan finansil (biaya atau level cost development) dan mungkin juga rencana target investasi belum tercapai ke pihak-pihak investor (belum laku dijual atau belum terjual).

Dan…!, sayang, semua kelebihan dan potensi saat menjadi kotif bagian dari Kabupaten Ciamis, justru sirna saat Banjar berubah status menjadi otonom ‘Kota’. Perlahan-lahan gelar sebagai kota transit luntur. Dimulai sekitar tahun 1990-an, saat pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan membuka trayek bus Pangandaran-Bandung dan Pangandaran-Jakarta. Terminal Banjar kemudian mati suri dan hanya sebagai tempat perlintasan. Terminal dengan luas 19.650 meter persegi ini adalah tipe A dan saat ini hanya memberangkatkan sekitar 30 bus setiap hari. Padahal, dulu terminal di Kecamatan Purwaharja ini sanggup memberangkatkan sekitar 350 bus setiap hari.
Tidak hanya itu, stasiun KA juga mengikuti jejak terminal bus. Bulan Februari 2002 PT Kereta Api Indonesia (PT KA) menghentikan operasi KA Galuh. Ditambah, PT Albasi Parahiangan berhenti menggunakan terminal peti kemas dan tidak menggunakan jalur KA untuk pemasaran produksinya. Otomatis stasiun KA menjadi sepi dan hanya sebagai tempat perlintasan KA Eksekutif Lodaya dan Mutiara Selatan, serta KA Ekonomi Serayu I, Kertajaya Selatan, Pasundan, Serayu III, dan Kahuripan.
Matinya sektor transportasi lambat laun juga berpengaruh pada perdagangan. Saat menjadi tempat transit, orang selalu belanja ke pasar sekadar membeli oleh-oleh. Ditambah lagi saat pertokoan modern mulai dibangun di Kecamatan Ciamis, Kabupaten Ciamis. Pertokoan ini kemudian menjadi magnet kuat bagi masyarakat perbatasan yang ingin belanja.
Meski tidak mudah menjalankan fungsi kota transit, masih ada beberapa potensi yang bisa dikembangkan, seperti pertanian, kehutanan, dan industri kecil. Juga tidak tertutup kemungkinan memajukan kembali sektor perdagangan. Semoga saja kepemimpinan Dr. H. Herman Sutrisno dalam periode ke II ini bisa membangun serta mengembalikan kejayaan-kejayaan kota kita, kota Banjar berikut mampu menyiapkan regenerasi kepemimpinannya dari SDM yang ada, berikut peraturan yg berlaku serta piranti yang disiapkan.

Mohon maaf bila ada salah… karena bagaimanapun kesempurnaan itu tetap ada pada Allah SWT dan kekhilafan maupun kesalahannya hanya ada pada diri penulis, dan salam untuk para pengelola ruang kota Bjr (Pemda dan Bappeda Bjr), dan kepada kita semua, di ruang kota kita… Kota Banjar…!

Sumber :
Tarjo Suhara, dalam :
http://id-id.facebook.com/topic.php?uid=126526424027490&topic=163

Tidak ada komentar:

Posting Komentar