Rabu, 23 Juni 2010

Banjar, Kota dengan "Rasa" Desa

Dua tahun lalu, peringkat daya saing ekonomi daerah Kota Banjar sempat berada di urutan 307, dari total 438 kota/kabupaten di Indonesia. Begitulah hasil penelitian Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia yang bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran. Meski dirilis tahun 2007, data yang diambil merupakan hasil pembangunan tahun 2005.


Menurut Dr. Siti Astiyah, peneliti ekonomi madya di Pusat Pendidikan dan Studi kebanksentralan Bank Indonesia, kemungkinan besar peringkat daya saing daerah tersebut sudah berubah apalagi mengingat proses pembangunan di daerah Kota Banjar, khususnya, cukup pesat.

"Daerah yang mau menggratiskan pelayanan kesehatan, pendidikan dasar atau percepatan infrastruktur, dan kemudahan pelayanan perizinan, dapat dipastikan peringkat daya saing akan naik jadi bagus," katanya. Banjar, menurut Siti, sudah melakukan itu.

Wajar kiranya jika peringkat daya saing Banjar sempat berada di bawah. Penyebabnya, ketika masih merupakan bagian dari Kab. Ciamis, Banjar merupakan salah satu wilayah yang dalam keadaan tak terurus.

Percepatan pembangunan baru terjadi ketika Banjar memisahkan diri enam tahun lalu. Sejak tahun 2005, pembangunan infrastruktur di daerah ini menjadi prioritas. Dua tahun kemudian hasilnya terlihat, seperti kondisi sebagian besar jalan di Kota Banjar, mulai dari kota sampai perdesaan sudah beraspal. "Sulit mencari jalan yang tidak diaspal,termasuk jalan di desa-desa," kata Nanang, warga Langensari, Kota Banjar.

Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR RI Eka Santosa, Kota Banjar merupakan salah satu daerah yang berhasil setelah dimekarkan. Banyak terobosan dilakukan sehingga kemajuan daerah Banjar sangat terasa, mulai dari bidang pendidikan, kesehatan, maupun pembangunan infrastrukturnya. Semua desa memiliki pos pelayanan kesehatan tingkat desa melengkapi peranan Puskesmas di tingkat kecamatan.

**

AH, dalam keberhasilan yang nyata itu, rupanya masih banyak orang yang mencibir. Mereka beranggapan Banjar maju lantaran daerahnya kecil, hanya 24 desa. Bahkan, ada seseorang yang menyangsikan bahwa Banjar tidak akan aman kalau dievaluasi. "Lihat saja, Kota Banjar pasti akan kelimpungan saat ada evaluasi itu," ungkap seorang pengamat ekonomi dari Bandung, dalam beberapa kali kesempatan bertemu dengan "PR".

Wali Kota Banjar Herman Sutrisno menyadari betul hal itu. Dalam suatu kesempatan wawancara, ia sempat menyatakan soal itu. Namun, dia yakin Kota Banjar yang dipimpinnya akan bisa mengejar cita-citanya sebagai daerah otonom serta lolos dari evaluasi. "Insya Allah," katanya.

Di tengah cibiran itu, Herman Sutrisno di antaranya telah membuat suatu gebrakan yang belum dilakukan pemerintah atau kota lain, setidaknya di Jawa Barat. Gebrakan itu adalah memberikan dana ke desa atau disebut dengan bantuan operasional desa yang sekarang nilainya mencapai Rp 1,3 miliar per tahun/desa. Di beberapa desa tertentu, bantuan operasional desa itu sekarang bahkan ada yang mencapai Rp 1,6 miliar.

Gebrakan itu dilaksanakan Herman sejak beberapa tahun lalu. Jadi, ketika satu pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam kampanyenya berjanji akan memberikan bantuan ke desa sebesar Rp 1 miliar per tahun, di Kota Banjar hal itu sudah dilakukan. Desa sudah sejak lama menjadi perhatian Herman Sutrisno dan Akhmad Dimyati, Wakil Wali Kota Banjar.

Kenapa bantuan operasional itu diberikan ke desa? Menurut Herman, desa adalah tempat masyarakat berada. Di desa, semua hal menyangkut manusia ada. "Orang miskin, pengangguran, jompo, semua ada di desa," tuturnya, di sela-sela kunjungan kerja ke Dusun Pacor, Desa Batulawang, Kec. Pataruman, Kota Banjar.

Oleh karena itu, sejak dilantik menjadi Wali Kota Banjar hingga sekarang (sekarang periode kedua pemerintahannya), orientasi utama pemerintahannya adalah perdesaan. Bagaimana caranya memperbaiki kehidupan masyarakat perdesaan termasuk pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) yang ada. "Desa adalah segalanya. Salah besar jika desa tidak diperhatikan," katanya.

Herman mengakui, kualitas penggunaan bantuan operasional desa itu masih perlu ditingkatkan. Hal itu dilakukan agar sasaran utama bantuan bisa dikejar, yakni memberdayakan SDM yang ada. Dengan demikian, masyarakat di perdesaan berdaya dan produktif. Ia mengakui, tak semua program yang ditujukan ke perdesaan berjalan optimal. Ada beberapa program yang tak jelas juntrungannya, misalnya bantuan sapi.

Kendati demikian, ia meyakini pada akhirnya bantuan operasional desa itu akan lebih tepat sasaran. Apalagi, katanya, saat ini Kota Banjar sudah memiliki peraturan khusus tentang Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). "Dengan Bumdes itu, pengelolaan bantuan operasional desa akan lebih tepat sasaran, selain pertanggungjawabannya juga akan semakin jelas," ujarnya.

Tak sebatas itu, belakangan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Banjar 2009-2013, pemkot sudah mengibarkan tekad luhur, yakni menjadikan Kota Banjar sebagai Kota Agropolitan atau kota yang mengembangkan bisnis berbasis pertanian. Agar hal itu tercapai, saat ini diupayakan agar Banjar menjadi kota agroindustri, jasa-jasa pertanian dan agrowisata, serta menjadi pusat distribusi produk-produk pertanian.

Selanjutnya, setelah Kota Agropolitan terwujud, diharapkan Kota Banjar menjadi kota termaju di Priangan Timur, khususnya sebagai kota yang dalam perekonomiannya mengembangkan agribisnis. Hal itu dimungkinkan, mengingat Kota Banjar memiliki keunggulan sebagai pusat distribusi produk pertanian serta tata letak geografis sebagai kota transit perdagangan antara kabupaten dan provinsi. (Aam Permana Sutarwan/"PR")***


Sumber:
Harian Pikiran Rakyat, Rabu 19 Agustus 2009, dalam :
http://www.ahmadheryawan.com/lintas-kabupaten-kota/kota-banjar/6603-banjar-kota-dengan-qrasaq-desa.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar