Rabu, 23 Juni 2010

Belajar dari Kota Banjar

Ketika wacana pemekaran Kota Administratif (Kotif) Banjar mengemuka, banyak kalangan, khususnya elite politik di Kab Ciamis (kabupaten induk) berpandangan miring. Kala itu, para elite menganggap keinginan memisahkan diri hanya sebuah alasan untuk kepentingan politik (bagi-bagi kekuasaan) semata.

Penilaian tak sedap atas keinginan memisahkan diri dari Kab Ciamis, itu akhirnya bisa ditepis. Paling tidak, sejak resmi menjadi Kota Banjar pada 21 Februari 2003 hingga sekarang, pemkot mampu memberikan pelayanan seperti yang diharapkan masyarakatnya.


Keterbatasan anggaran bukan menjadi alasan terhambatnya pembangunan kota berjuluk 'Bayi Ajaib' ini. Ada beberapa indikator keberhasilan Pemkot Banjar yang dipimpin Wali Kota, dr H Herman Sutrisno, MM, dalam membangun daerah dengan luas wilayah 13.197,23 hektare ini. Di antaranya bidang pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Tiga bidang yang menjadi indikator indeks pembangunan manusia (IPM) itu benar-benar bisa dirasakan masyarakat Kota Banjar yang berpenduduk 168.912 jiwa.

Di bidang kesehatan, sejak 2004, atau setahun setelah pemekaran, wali kota mengeluarkan SK No 440/Kpts.24-Huk/II/2004 tentang pembebasan biaya pelayanan kesehatan dasar. Aturan tersebut berlangsung hingga 2005. Pada 2006, pemkot mengeluarkan kebijakan yang luas di bidang kesehatan. Melalui Perda No 7 tahun 2006, tak hanya pelayanan kesehatan dasar yang bisa dinikmati keluarga miskin di daerah ini yang jumlahnya sekitar 21 persen dari total jumlah penduduk. Bahkan kelompok masyarakat ini dibebaskan dari biaya berobat ke RSUD di kelas tiga.

Kebutuhan mendasar masyarakat lainnya yang bisa dipenuhi pemkot adalah di bidang pendidikan. Melalui Dinas Pendidikan, pemkot meluncurkan program bantuan beasiswa bagi murid SD, SMP, SMA, dan SMK yang terancam putus sekolah dari kalangan keluarga tidak mampu. Program ini dimulai 2005, sebelum program Biaya Operasioanal Pendidikan (BOS) yang digulirkan pemerintah pusat dimulai.

Untuk program bantuan beasiswa, pada 2007 pemkot meningkatkan anggaran menjadi Rp 1,753 miliar. Program pendidikan ini dibarengi dengan bantuan SMP terbuka yang alokasi dananya sebesar Rp 100 juta untuk tiga tempat kegiatan belajar (TKB). Selain itu juga ada program meningkatkan angka melek huruf melalui kegiatan keaksaraan fungsional untuk 1.200 warga belajar dengan anggaran Rp 380 juta.

''Sumber dananya kita ambil dari APBD,'' kata Wali Kota Banjar, dr Herman Sutrisno, MM.

Layanan masyarakat lainnya yang menjadi perhatian pemkot adalah membebaskan biaya pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) dan akte kelahiran usia 0-60 tahun mulai 1 Januari 2006. Sedangkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, pemkot meluncurkan program bantuan desa Rp 1 miliar mulai 2007 ini.

Keinginan kuat wali kota mensejahterakan rakyatnya, tercermin dari perbandingan antara belanja publik dan aparatur dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Meski APBD Kota Banjar pada 2006 hanya Rp 239.424.457.674 dengan pendapatan asli daerah (PAD) Rp 14.743.118.080, relatif kecil dibanding kabupaten dan kota yang ada di Jabar, tapi keinginan untuk mengoptimalkan anggaran tersebut untuk kepentingan masyarakat sangat kental.

Pada 2004, Pemkot Banjar yang hanya memiliki APBD Rp 84 miliar berani mengalokasikan anggaran untuk belanja publik sebesar Rp 57 miliar lebih. Sedangkan belanja aparatur hanya mendapat jatah Rp 26 miliar. Tahun berikutnya, APBD Kota Banjar melonjak menjadi Rp 143 miliar lebih.

Dari jumlah itu, alokasi untuk belanja publik Rp 98 miliar dan belanja aparatur Rp 44 miliar. Ketika APBD 2006 meningkat signifikan menjadi Rp 265 miliar, pemkot pun memberi porsi yang lebih besar untuk anggaran publik, yaitu sebesar Rp 176 miliar dan belanja aparatur Rp 88 miliar. Sedangkan pada 2007, APBD Kota Banjar mencapai Rp 368 miliar yang 68 persennya untuk belanja publik.

Dalam merealisasikan anggaran yang bersumber dari APBD, wali kota mensyaratkan para kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD), kepala dinas, badan, dan lembaga, melakukan presentasi programnya. Presentasi di hadapan wali kota itu dimaksudkan agar program tersebut benar-benar bisa terserap secara maksimal untuk kepentingan masyarakat.

Jika presentasi tersebut dinilai tak rasional, jangan harap kepala SKPD bisa menggunakan anggaran dari rakyat ini untuk kegiatannya. ''Ini saya terapkan sejak 2004. Cara ini sangat efektif. Buktinya penyerapan program di setiap SKPD mencapai lebih dari 80 persen,'' tutur Herman yang didampingi Kabag Humas Pemkot Banjar, Darmawan Adi.

Untuk merealisasikan program yang berpihak kepada masyarakat, memang dibutuhkan keberanian dari figur wali kota. Menurut Ketua DPRD Kota Banjar, H Unen Astramanggala, komitmen mensejahterakan masyarakat dimiliki wali kota Banjar.

''Keberanian seorang pimpinan sangat diperlukan. Ini yang terjadi di Kota Banjar. Selain itu kebersamaan antara eksekutif dan legislatif juga menjadi kuncinya,'' ujar Unen. (jok )


Sumber :
Republika, 20 Februari 2007

1 komentar:

  1. Ass...banjar adalah kota idaman..saya anto pedagang di tiap skolah dasar di wilayah kota banjar.teruntuk kepala dinas pendidikan saya mohon dan tindak lanjuti&di pertegas kepada para pedagang mainan yg hanya membawa formalitas mainan saja.tetapi yg sebenarnya mereka tawarkan adalah LOTRE yg hadiahnya berupa sejumlah uang..saya selaku pedagang makanan kecil/ringan merasa sangat prihatin kepada anak2 yg terjerumus membeli lotre.bukan saya iri tetapi saya merasa kasihan melihat moral anak2 seusia pelajar rusak oleh oknum2 judi..di waktu mereka butuh jajan uang mereka habis oleh lotre..jika pa kepala dinas pendidikan tidak sempat turun langsung kami minta surat pernyataan dari bpa kepada stiap kepala sekolah agar di buat papan reklame,banner/sejenisnya..yg berisi tentang larangan pedagang yg berupa lotre dalam bentuk apapun.sekian&trima ksh..wass

    BalasHapus